Rabu, 10 November 2010

Sistem Perkawinan Masyarakat Itawaka

Perkawinan menurut adat, masyarakat desa Itawaka merupakan urusan dari dua kelompok kekerabatan, yaitu mata rumah dan famili, mereka ikut menentukan serta berfungsi sebagai penyelenggara dari perkawinan. Disadari bahwa perkawinan bukan hanya sekedar untuk menemukan kebutuhan biologis dan kehendak para individu, tetapi lebih dari itu merupakan suatu hubungan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan perempuan.

Menurut Prakoso (1987) bahwa, perkawinan merupakan suatu ikatan untuk membina rumah tangga menuju keluarga sejahtera, bahagia dimana kedua suami istri memikul amanat dan tanggung jawab. Oleh karenanya akan mengalami suatu proses psikologis yang berat, yaitu kehamilan dan melahirkan yang meminta pengorbanan. Untuk memasuki suatu proses perkawinan maka perlu dipahami bahwa perkawinan bukan hanya merupakan suatu cinta kasih, tetapi yang dibutuhkan adalah pemikiran yang rasional yang dapat meletakan suatu dasar yang kokoh. Perkawinan merupakan suatu proses awal dan perwujudan bentuk-bentuk kehidupan setiap insan manusia.

Dalam Undang-Undang Perkawinan No, I tahun 1974, bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Bertolak dari pengertian dimaksud, maka scsungguhnya tujuan dari perkawinan tidak hanya dilihat dari segi lahiriah saja, tetapi sekaligus terdapat adanya suatu pertautan batin antara suami-istri dengan tujuan untuk membina rumah tangga ke arah kekal dan bahagia.

Pengertian kekal dan bahagia mengandung arti bahwa, perkawinan itu haruslah berlangsung sekali dan seumur hidup, serta tidak boleh berakhir begitu saja, dan perkawinan itu janganlah untuk kepentingan diri pribadi dan materialisme tetapi perkawinan itu hendaknya melahirkan hubungan yang harmonis diantara suami dan istri.

Disetiap daerah, dimana perkawinan itu dilaksanakan tidaklah terlepas dari peraturan-peraturan dan hukum adat yang berlaku. Sehubungan dengan itu, maka Soekamto (1987) mengemukakan bahwa hukum adat merupakan keseluruhan adat yang tidak tertulis dan hidup dalam masyarakat berupa kesusilaan, kebiasaan, dan kelaziman yang mempunyai akibat hukum.

Bertolak dari pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan menurut hukum adat adalah suatu ikatan seorang pria dan wanita yang terkait sebagai suami-istri dalam membentuk keluarga yang diatur oleh norma-norma dan aturan-aturan kesusilaan serta kebiasaan yang lazim diberlakukan pada lingkungan masyarakat ( Papilaya. Josef , 2005 )

Dalam pemahaman inilah, maka Hadikusumah (1995) menyebutkan bahwa azas dari suatu perkawinan yaitu perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga rumahtangga dan hubungan kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal. Perkawinan tidak saja harus dilaksanakan menurut hukum agama dan kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para anggota kerabat. Masyarakat di desa Itawaka mengenal tiga jenis perkawinan, yaitu: "kawin minta", "kawin Lari", dan "kawin masuk".

1. Proses Perkawinan  “Kawin Minta”.
Bagi masyarakat desa Itawaka atau pula pada masyarakat Ambon umumnya, kawin minta terjadi apabila seorang pemuda telah menemukan seorang gadis yang akan dijadikan istri. Proses ini merupakan suatu perkawinan terhormat. Pada saat seorang pemuda menemukan seorang wanita dan telah bertunangan maka ia akan memberitahukan kepada orang tuanya, kemudian mereka mengumpulkan anggota keluarga atau famili untuk membicarakan hal itu dan membuat rencana perkawinan.

Materi perbincangan biasanya meliputi: penentuan waktu untuk "masuk minta" (meminang si gadis), penentuan harta kawin, serta menentukan waktu pelaksanaan upacara perkawinan dan lain sebagainya. Apabila semuanya disetujui, kemudian dikirimkan surat atau delegasi kepada orang tua si gadis untuk menentukan waktu bagi kunjungan/melamar Orang tua si gadis mengirim kabar kembali dengan waktu dan harinya setelah keluarga dari si gadis berunding. Apabila orang tua si gadis tidak setuju maka pendekatan ini dibatalkan, namun hal ini jarang sekaii terjadi, sebab orang tua keluarga pemuda telah mempertimbangkan jawaban karena sebelumnya antara anak gadis dan pemuda itu sudah memberitahukan, khususnya orang tua pemuda bahwa orang tua si gadis akan menerimanya. Seandainya jawaban orang tua si gadis menolak lamaran si pemuda, tentunya antara pemuda dan si gadis biasanya mengambil cara lain, yaitu kawin lari. Bila orang tua si gadis memberi jawaban setuju atau menerima, maka keluarga/famili dari orang tua pemuda kembali melakukan kunjungan secara resmi untuk membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan persiapan perkawinan.

Pada waktu yang telah ditentukan, rombongan keluarga si pemuda datang ke rumah si gadis untuk meminangnya. Peminangan yang sering terjadi di desa Itawaka adalah secara tulisan melalui surat. Surat itu lalu diletakkan di dalam sebuah baki, ditutup saputangan berwama merah berukuran 60 x 60 cm, yang oleh masyarakat setempat disebut “Lenso Berang”. Dengan menggunakan lampu gas (pada waktu dulu menggunakan obor) keluarga atau famili membawa surat tersebut ke rumah si gadis. Orang yang membawa surat tersebut yaitu ‘dulunya kawin melalui proses "kawin minta". Apabila orang tua si gadis menerima pinangan itu maka tiga hari kemudian orang tua si gadis akan mengirim utusan untuk membawa surat balasan dengan jawaban bahkan sebagai tanda bahwa pinangan itu di terima.

Dalam kurun waktu satu sampai dua minggu setelah surat balasan dari keluarga si gadis diterima yang menyatakan bahwa pinangan itu diterima, maka orang tua si pemuda lalu mengumpulkan sanak keluarga/famili untuk membicarakan rencana perkawinan.  Rencana perkawinan tersebut meliputi:
  1. Waktu pelaksanaan pesta
  2. Tempat pelaksanaan pesta
  3. Kaum kerabat yang akan diundang
  4. Persiapan biaya
  5. Para pekerja
  6. Pembagian tugas kerja, dan
  7. Jenis konsumsi

Dalam perkawinan "masuk minta", masyarakat desa Itawaka melaksanakan jenis adat perkawinan, yaitu "adat pembayaran harta kawin" dan “tara tatu".  Adakalanya pelaksanaan dilakukan mendahului pesta perkawinan. Hal ini dilakukan untuk mempersingkat waktu perkawinan ketika akan dilaksanakan di kantor pencatatan sipil dan pemberkatan nikah secara ritual di gereja. Proses pembayaran harta kawin dan Tara Tatu akan dijelaskan pada tata cara pembayaran harta kawin dan Tara Tatu.

2. Proses Perkawinan  “Kawin Lari”.
“Kawin lari” atau lari bini adalah sistem perkawinan yang paling lazim, terutama disebabkan pemuda dan pemudi didesa Itawaka cenderung menempuh jalan pintas. Untuk menghindari prosedur perundingan dan upacara yang memakan waktu dan biaya yang besar.
           
Kawin lari sesungguhnya dapat dipandang sebagai cara yang kurang baik, dan hal ini umumnya kurang disetujui oleh pihak keluarga/famili si gadis. Tetapi bagi keluarga/famili dari si pemuda kawin lari ini lebih disukai, terutama karena pemuda tersebut mungkin merasa kecewa sebab orang tua belum menyetujui si gadis kawin atau sebaliknya, Disamping itu mungkin lamaran si pemuda ditolak dan untuk menghindari malu dari keluarga pemuda karena perkawinan anaknya ditolak oleh orang tua si gadis. Adakalanya kawin lari tersebut di setujui oleh orang tua si gadis bahkan sering dianjurkannya untuk menyingkat waktu dan mengurangi biaya yang akan dikeluarkan guna penyelenggaraan pesta perkawinan.

Dalam pada itu, kerapkali keluarga/famili dari si pemuda proaktif.  tetapi kalau tidak, dapat juga tanpa sepengetahuan keluarga dan yang mendukung adalah teman-teman si pemuda dan juga orang tua yang menaruh simpati kepada si gadis yang selama masa pertunangan telah mengetahui dan menyetujui hubungan mereka ketika si gadis menyetujui dengan cara ini, pada waktunya si pemuda sendiri atau dengan pengantaran teman dekatnya ataupun saudaranya, membawa lari si gadis dari kamarnya pada malam hari dengan membawa semua pakaian dan perlengkapan seadanya.

Melalui proses ini, si pemuda telah membuat sepucuk surat yang isinya memuat pemberitahuan kepada orang tua si gadis bahwa anak gadisnya telah dilarikan. Surat tersebut biasanya diletakkan diatas tempat tidur atau diatas meja. Bila pelarian di ketahui orang tua maka surat menerangkan siapa siapa si pemuda dan di tegaskan bahwa si gadis berada dalam perlindungan orang tua si pemuda bila tanpa pemberitahuan orang tua dan surat maka tentunya orang tua si gadis akan mencarinya.

Walaupun kawin lari sepengetahuan orang tua si gadis dengan menggunakan surat, menurut adat orang tua si pemuda bersama famili keesokkan harinya selama tiga hari berturut-turut harus melaksanakan acara “bakubae”. Pendekatan dengan cara ini berlangsung selama tiga hari berturut-turut dan pada hari ketiga orang tua si pemuda harus membayar harta. Biasanya yang bertindak sebagai juru bicara menggunakan tuang kerja. Seringkali setelah harta dibayar, beberapa hari kemudian dilangsungkan pesta perkawinan dalam bentuk nikah berdasarkan peraturan agama dan pencatatan sipil. Namun ada pula yang menunda sampai beberapa bulan bahkan satu atau dua tahun.

Ada bentuk kawin lari yang lain, yaitu kawin lari tanpa menggunakan surat pembentahuan kepada orang tua. Hal ini kalaupun terjadi karena si gadis takut membecitahukan kepada orang tuanya ataupun mungkin orang tua si gadis tidak setuju. Karena antara si pemuda dan si gadis sudah saling mencintai maka terwujudlah kawin lari. Namun demikian, menjadi konsekuesi bagi orang tua pemuda untuk memberitahukan kepada orang tua si gadis.

Sebagai pembicaraan biasanya menggunakan orang yang dipandang bisa mewakili keluarga si pemuda atau mengunakan dua orang Tuang karja.  Tuang kerja dipakai sebagai juru bicara dan mereka ditugaskan oleh orang tua dan keluarga si pemuda untuk memberitahukan orang dan keluarga si gadis. Pembayaran harta kawin tidak perlu dilakukan pada saat itu, akan letapi dapat ditunda.

3. Proses Perkawinan “Kawin Masuk”.
Kawin masuk atau dalam bahasa setempat disebut dengan “Kawin Manua”.  Pada perkawinan ini, orang tua si gadis berkeinginan agar pengantin laki-laki atau si pemuda tinggal bersama dengan si gadis dengan orang tuanya. Alasan utama untuk orang tua si gadis mengambil si pemuda atau suaminya untuk tinggal bersama adalah karena si gadis anak tunggal satu-satunya. ia tidak memiliki saudara laki-laki atau perempuan lainnya, sedangkan orang tua si gadis memiliki banyak harta, serta dusun atau tanah yang luas dan tidak ada yang mengelolanya.

Karena si pemuda akan tinggal dengan orang tua si gadis, maka pada acara kawin lari pembayaran harta kawin tidak dilaksanakan. Segala sesuatu yang diperoleh dalam proses perkawinan menjadi milik keluarga si gadis, bahkan seluruh anak yang didapat dalam perkawinan memikul marga atau fam si wanita.

Menurut Soebyakto (1976),  3 (tiga) alasan utama masyarakat Ambon yang merelakan anak prianya "kawin masuk" mengikuti marga si gadis adalah;
1.  Kaum berabat si pemuda tidak dapat membayar mas kawin secara adat.
2.  Keluarga si gadis hanya beranak tunggal dan tidak punya anak laki-laki.
3.  Karena ayah dari si pemuda tidak sudi menerima menantu perempuannya, di sebabkan perbedaan status atau alasan yang lainnya.

Sistem Kekerabatan Masyarakat Itawaka


Sistem kekerabatan yang berada pada masyarakat desa Itawaka adalah menganut hubungan patrilineal yang mengikuti suatu pola menetap patrilokal. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Subjakto Koentjaraninggrat (1995).

Kesatuan-kesatuan kekerabatan yang lebih besar dan keluarga yang sangat penting diketahui adalah mata rumah (fam) adalah suatu kelompok kekerabatan yang bersifat patrilineal. Mata rumah merupakan suatu kesatuan dari laki-laki dan perempuan yang belum kawin serta para isteri dari laki-laki yang belum kawin ( Papilaya. J, 2003).

Hubungan kekerabatan biasanya mencakup, hubungan dengan orang-orang berdasarkan garis keturunan yang sama dan juga semua orang yang erat hubungan kekeluargaan dengan kita. Terkait dengan hal itu, maka Ziwar (1987) mengemukakan bahwa hukum kekerabatan tidak hanya mengatur hubungan antara orang lain saja, tetapi menurut garis menyimpang, paman ataupun bibi (tante) dengan keponakan-keponakannya, antara anak dengan orang tuanya bersaudara. Sistem ini juga mengatur hubungan hukum persemendaan sesuai dengan kerabat pihak ibu dan ayahnya. Selain sistem kekerabatan yang bersifat unilineal itu terdapat pula kesatuan lain yang lebih besar yang bersifat bilateral, yaitu famili. Famili merupakan kesatuan kekerabatan yang berada di sekeliling individu yang didalamnya terdapat warga disekitarnya.

Menurut Subyakto (1976), bahwa famili merupakan kesatuan kekerabatan di sekeliling individu yang terdiri dari warga-warga yang masih hidup dari mata rumah asli yang merupakan keturunan dari keempat nenek moyang (leluhur). Kekerabatan sebagai suatu kesatuan sosial yang hidup dan berkembang terdiri dari sejumlah keluarga batih, Keluarga batih itu sendiri merupakan suatu kesatuan yang terkecil dimana tanggung jawab berada pada ayah sebagai kepala keluarga (Uneputty, 1993).

Sebagai wujud dari hubungan kekerabatan dalam hubungan sosial budaya masyarakat desa Itawaka, dijumpai adanya suatu ikatan yang cukup kuat, yang disebut dengan lTuang Karja". Tuang Karja terbentuk dari beberapa marga, sebagai contoh: seperti marga Papilaya, marga Tomasoa dan marga Syaranamual. Ketiga marga itu terikat dalam satu Tuang Karja dimana kesatuan mata rumahnya dikenal dengan nama "Lume Teun Lesila Pewaka Tamalene". Kesatuan Tuang Karja yang terikat ini tidak diperbolehkan kawin, sebab apabila kawin maka keluarga rumahtangganya sering mengalami gangguan bahkan mati. Fungsi dan peran Tuang Karja dapat dikemukakan pada saat upacara perkawinan dan upacara adat lainnya.

Selasa, 09 November 2010

Aer Potang Potang


  AER POTANG POTANG TEMPOE DOLOE

Pada Jaman dahulu sebelum masuknya Penjajah (Belanda), di Pulau Saparua memiliki satu Kerajaan yaitu kerajaan IHA.....itu berarti seluruh negeri yang berada khususnya di Jasirah Hatawano harus tunduk dan mematuhi Perintah, apalagi saat-saat kekuasaanya......

Menurut penuturan cerita Orang tua-tua di Desa Itawaka lokasi AER POTANG POTANG adalah tempat untuk mengasah parang dari Kapitang IHA itu dibuktikan dengan BATU PENGASAH PARANG yang sampai saat ini masih ada.

Seiring dengan kedatangan Penjajah (Belanda) akibat jatuhnya pelabuhan KOSTANTINOPEL sebagai pusat perdagangan INTERNASIONAl dengan tujuan : 

  1. Mencari daerah jajahan. 
  2. Memperoleh rempah-rempah. 
  3. Menyebarkan Agama Kristen/Nasarani. 
Karena tujuan itulah hubungan persaudaraan menjadi hancur akibat politik pecah belah/adu domba. Akibatnya timbul peperangan yang DIPERKIRAKAN akibatkan faktor ADU DOMBA antara saudara kita dari Nolloth maupun bagi siapa saja yang berhianat baginya (Kerajaan IHA) , mengakibatkan peperangan dan memakan korban yang begitu banyak.

Dari peperangan itulah timbul Belanda dengan potitik ADU DOMBANYA meminta Kapitang dari ITAWAKA (TITAWAKA) untuk menjaga/mengamankan peperangan tersebut, disisi lain ITWAKA dan IHA adalah ORANG BASUDARA......

Sehingga mata AER yang dulunya bernama SABTU berdasarkan Nama Kapitang atau Orang IHA yang pada waktu dulu menjaga Aer tersebut menjadi AER POTONG POTONG dan berubah kembali menjadi AER POTANG POTANG sampai sekarang ini......Mungkin ini sejarah singkat AER POTANG POTANG.....Mengingat Sejarah Negeri kita tidak DIBUKUKAN tetapi secara LISAN....

Kiranya TIM SEJARAH ITAWAKA yang dibentuk 29 Desember 2006 melalui “ITAWAKA MEMILIKI SDM YANG BERKUALITAS DAYA SAING, BAGI TERCIPTANYA MASYARAKAT YANG RUKUN DAMAI DAN SEJAHTERA” dapat memberikan penjelasan yang sesungguhnya........
 

AER POTANG POTANG SAAT INI

Dalam perkembangannya jumlah penduduk Negeri Itawaka berjumlah 456 kk (data Tahun 2006). Sehingga faktor pemenuhan kebutuhan hidup sangat mendesak. Kondisi AER POTANG POTANG mengalami krisis dengan adanya Konflik Sosial sehingga mengakibatkan Penebangan Pohon, Pembukaan Lahan (Masa Pemerintahan almr. A. Sahetapy). Tak dapat dipungkiri ini adalah bagian dari pemenuhan kebutuhan masyarakat yang mesti dipenuhi, sehingga di lain ketersediaan Air Bersih sangat dirasakan pada musim kemarau.

Namun sebelum pemerintahan (almr. A. Sahetapy) Kebijakan dan Manajemen dalam pengelolaan AER POTANG POTANG tidak dilaksanakan dengan baik, baik dari sistem DRAINASE AER POTANG POTANG maupun pembuatan Bak Mandi dan Bak Penampungan Air Bersih yang hanya berjarak ± 10-30 meter dari sumber mata air. Selain itu pengelolaan dalam restribusi/Iuran (Rp. 2000/bulan untuk tiap kk) tidak berjalan baik dan tidak tentu arah, kemana Iuran itu dipakai dalam pengelolaan AER POTANG POTANG ????

Ini adalah sebagian faktor yang menyebabkan ketersediaan Air Bersih, selain kegiatan Pembukaan lahan dan Penebangan Pohon di sekitar AER POTANG POTANG dan ini sangat dirasakan bagi masyarakat Itawaka yang bertempat tinggal di daerah belakang Negeri dan Ujung Negeri !!!!!!.

Untuk itulah diharapkan perhatian khusus dari Pemerintahan Bpk. Libreck Frans. Wattimena sebagai Raja terpilih (7 Januari 2010) dalam Sistem Manajeman serta pengelolaan AER POTANG POTANG apalagi Visi dan Misi sebelum dipilih menjadi Raja yang baru adalah :
  1.  Membuat Rumah Adat Negeri Itawaka.
  2. Penetapan Lokasi Tempat Pemakaman.
  3. MEMPERHATIKAN AER POTANG POTANG.

Harapan kita sebagai Anak Negeri Itawaka kepada Pemerintahan Baru dan merupakan tanngung jawab kita bersama adalah :
  1. Memberikan penyuluhan/pengertian yang baik bagi masyarakat Desa Itawaka dalam menjaga ketersediaan AER POTANG POTANG.
  2. Melakukan kegiatan penanaman di sekitar AER POTANG POTANG, baik untuk Pohon Sagu serta jenis pohon lainnya yang dapat menjaga ketersediaan AER POTANG POTANG.
  3.   Melarang dengan keras masyarakat untuk tidak melakukan penebangan pohon maupun membuka lahan untuk pemukiman baru di sekitar areal AER POTANG POTANG........


Oooooooooooooo Eeeeeeeeeeeeeeee.
POTANG POTANG AIR KU..........
BERMUARA PANTAI NAMAL.........
PELABUHAN ORANG DAGANG.........

Masih Ingatkah Kita Syair Lagu Ini !!!!!!!!!!

G B U

Sejarah Terbentuknya Jemaat GPM Itawaka


Maranatha
Proses turun masyarakat Itawaka dari negeri lama ke negeri sekarang terjadi pada tahun 1651 pada saat perintah turun dari penguasa Belanda saat itu yang terjadi di pantai Moni. Kemudian pada tahun 1653 masyarakat di negeri lama turun ke negeri sekarang menempati lokasi Wai Kikinawoni yang kemudian berubah nama menjadi air potong-potong yang sekarang disebut potang-potang. Pada saat turun dari gunung tersebut jumlah Kepala Keluarga sebanyak 24 KK dibawah pemerintahan Izak Pelatiti Pattinaja Wattimena, dan yang menjadi pimpinan rombongan adalah Ama Pati Pelaya yang sekarang menjadi marga Papilaja, sedangkan yang menjadi pengawas rombongan adalah Litamahuputy.

Sebelum adanya gedung gereja dan menjadi jemaat sendiri maka aktivitas ibadah minggu orang-orang Itawaka berlangsung di Gereja Nolloth dan menjadi bagian dari warga jemaat Nolloth yang dimulai pada tahun 1834-1854. Sejak tahun 1855 jemaat GPM Itawaka berdiri sendiri pisah dari Nolloth dengan Pdt pertama R. Bassert dan Guru Midras P. Latupeirissa. Pada tahun 1855 jemaat GPM Itawaka telah melakukan aktivitas sendiri dengan menggunakan gedung gereja darurat. Hampir selama dua puluh tahun orang-orang Itawaka bergambung menjadi bagian dari warga jemaat Noloth, namun setelah terjadi masalah-masalah sosial antara orang-orang Noloth dan orang-orang Itawaka maka muncullah inisiatif dari orang-orang Itawaka untuk membangun gedung gereja sendiri dan menjadi jemaat sendiri pisah dari Nolloth.

Inisiatif untuk membangun gedung gereja sendiri dan menjadi jemaat sendiri oleh orang-orang Itawaka berawal dari peristiwa di hari minggu pada saat keluar gereja malam. Dimana orang-orang Itawaka dilempari dengan buah papaya masak yang sudah busuk oleh sekelompok orang yang tidak dikenal. Peristiwa ini, kemudian disikapi oleh Lucas Papilaja dan Dapit Matulessy yang saat itu sebagai kepala soa. Mereka mengambil inisiatif untuk membuat surat (Rekes) kepada konteler Saparua untuk memintakan izin membangun gedung gereja bagi masyarakat Itawaka. Setelah mendapat izin dari koteler Saparua maka gereja pertama di bangun sekitar tahun 1860. Gedung gereja pertama Itawaka pada saat dibangun dipimpin oleh kepala Bas atau kepala tukang Lucas Papilaja dari Itawaka dan Piter Martinus Latupeirissa serta Latuihamalo kepala tukang dari Porto. Pembangunan gedung gereja pertama jemaat GPM Itawaka dengan pimpinan jemaat Pdt R. Bassert dan guru Madras P. Latupeirissa.

Gereja yang pertama di Itawaka dibangun dengan jumlah tiang lilin sebanyak delapan buah dan menggunakan ramuan kayu diambil dari lokasi gunung Ama Iha (sebutan hari-hari amihal). Jumlah tenaga yang membangun gereja pertama sebanyak 30 orang laki-laki dan dibantu dengan tenaga perempuan untuk menaikan balok-balok gereja. Selama pekerjaan pembangunan gedung geraja pertama Itawaka, maka perempuan-perempuan dan anak-anak selalu mengkidungkan kidung-kidung pujian setiap hari sebagai dukungan spiritual dalam melakukan pekerjaan pada saat itu.

Untuk membuat mimbar gereja pertama dipercayakan kepada tukang Piter Martinus Latupeirissa dan buah tangan dari tukang tersebut masih ada dan digunakan sampai saat ini. Ada peristiwa yang terjadi pada saat memasukan mimbar hasil buah tangan tukang Piter Martinus Latupeirissa ke dalam gedung gereja, dimana pada saat mibar akan dimasukan kedalam gedung gereja tidak bisa dimasukan sebab pintu gereja sempit karena mimbar tersebut lebih besar dari pintu gereja. Untuk mengatasi masalah ini, maka kepala tukang pembangunan gereja pertama Lucas Papilaja berdoa dan setelah itu mendorong tiang pintu gereja sehingga pintu gereja menjadi luas dan mimbar tersebut dapat dimasukan kedalam gereja. Oleh karena jasa kepala tukang Lukas Papilaja tersebut, maka tukang Piter Latupeirissa mengukir 10 jari dari Lukas Papilaja dibawah tempat baca pada mimbar gereja dan ukiran 10 jari tersebut sampai saat ini masih ada sebagai bukti sejarah.

Renovasi Gedung Gereja Pertama & Pembangunan Gedung Gereja Maranatha Jemaat GPM Itawaka.

Sejak dibangunnya gereja pertama di Itawaka pada sekitar tahun 1860, maka renovasi gereja pertama untuk pembuatan balkon gereja dilaksanakan pada tahun 1966 dengan ketua Panitia Julius Papilaja kemudian diganti dengan Julius Syaranamual dengan kepala tukang Yosep Tomasoa pada masa Pimpinan Jemaat Pdt F. Latumahina dan Penjabat Pemerintah Negeri Itawaka saat itu Welem Syaranamual. Setelah renovasi pertama dilakukan maka ada rencana untuk dilakukan renovasi gereja lagi  pada tahun 1968 dimana panitia renovasi gedung gereja Itawaka dipimpin oleh Pdt F. Lakburlawal (penghentar jemaat GPM Itawaka saat itu) sebagai ketua umum dan sekretaris umum adalah J.S. Wattimena.

Panitia ini bertugas untuk melakukan renovasi bangunan atas gereja dan menggantikan atap rumbia dengan atap zink serta menggantikan sebagian dinding yang dibuat dari papan dengan beton. Tahun 1971 Pdt F. Lakburlawal dipanggil ke Ambon untuk tugas belajar, maka jabatan ketua umum dipegang oleh Z. Papilaja yang pada saat itu menjabat Wakil Pemerintah Negeri Itawaka. Setelah adanya raja difenitif maka dilakukan pergantian panitia. Pergantian panitia yang lama ke panitia yang baru dilaksanakan pada taggal 31 Januari 1972 yang dipimpin oleh A.A. Syaranamual (Raja Negeri Itawaka) sebagai ketua umum dan sekretaris umum dijabat oleh G. Lewerissa (kepala SD Negeri Itawaka).

Tugas panitia baru adalah untuk melanjutkan rencana renovasi gereja Itawaka. Tanggal 15 dan 18 Maret 1972 panitia pusat melakukan rapat dengan IKWI Ambon dan berhasil membentuk panitia cabang Ambon yang dipimpin oleh Ph. Wattimena dan J. Tuapattinaja. Pada tanggal 1 April 1972 Panitia Cabang Ambon tiba di Itawaka bersama dengan Bpk Christopol Pattinaja, BE Kepala Kantor PU Kota Ambon dan beberapa stafnya serta Ir. Arman Papilaja yang tergabung dalam tim teknis yang diturunkan oleh IKWI Ambon.

Tim teknis yang diturunkan tersebut bertugas meneliti kondisi kelayakan gedung gereja secara teknis. Pada saat melakukan penelitian teknis, maka ditemukan tiang-tiang gereja pertama sudah lapuk, bahkan batu, pasir dan kapur yang digunakan untuk membangun tembok gereja pertama diambil sampelnya untuk diteliti di laboraterium fakultas teknik Unpatti. Dan dari hasil penelitian laboratorium didapatkan hasil bahwa dinding tembok gereja sudah tidak lagi layak pakai karena pasir, batu dan kapur tidak berseyawa lagi (daya ikat sudah lapuk). Dari hasil penelitian teknis tersebut maka atas kesepakatan rapat Panitia dan Majelis Jemaat serta Pemerintah Negeri Itawaka pada tanggal 18 April 1972, diputuskan gereja pertama Itawaka dilakukan pembongkaran secara total. Tanggal 20 April 1972 gedung gereja lama dibongkor seluruhnya. Di sela-sela kegiatan renovasi gereja, maka pada tanggal 2 April 1972 dilakukan peresmian gedung gereja darurat untuk melayani jemaat GPM Itawaka dalam melakukan aktivitas ibadah minggu. Pada tanggal 10 April 1972 diadakan pembongkaran bahagian atas gedung gereja lama yang dilakukan dalam suatu upacara gerejawi.

Pada tanggal 9 April 1974 panitia cabang Ambon dan pengurus IKWI menghadiri upacara pembongkaran bahagian atas gedung gereja lama. Tim IKWI Ambon dipimpin oleh F.J. Latumaerissa dengan menggunakan KM Laut Arafura dan membawa 155 sak semen dan 120 lembar zink. Pada bulan Juni 1972 tiba di Itawaka Tim PAALB (Persatuan anak-anak Leilisal Beinusa) dari negeri Belanda yang dipimpin ketuanya J. Papilaja. Pada tanggal 2 Juli 1972 diadakan rapat jemaat dengan Tim PAALB dimana dalam pertemuan tersebut panitia pusat menjelaskan alasan dibangunnya gedung gereja baru bukan lagi renovasi seperti yang sejak awal direncanakan. Karena itu panitia sangat mengharapkan peran dan partisipasi dari PAALB demi mensukseskan pembangunan gedung gereja dimaksud. Setelah mendengar penjelasan dari panitia menyangkut alasan tidak lagi dilakukan renovasi gereja tetapi gereja akan dibangun baru, maka pada hari Minggu tanggal 9 Juli 1972 selesai kebaktian Tim PAALB menyerahkan sumbangan sebesar Rp. 1.281.850 dari PAALB dan sumbangan dari panitia cabang di Jakarta sebesar Rp. 70.000 yang pada awalnya akan diperuntuhkan untuk kegiatan renovasi gereja, namun karena recana kegiatan renovasi telah mengalami perubahan untuk membangun gedung gereja baru maka sumbangan tersebut diserahkan kepada panitia pembangunan untuk dimanfaatkan guna kelancaran kegiatan pembangunan gereja baru Itawaka. Setelah kembali ke Belanda dan membicarakan realitas yang didapatkan di Itawaka, maka pada bulan Desember 1974 melalui J. Siahaya yang berlibur di Itawaka PAALB menyumbang uang tunai sebesar 12.000 gulden untuk panitia pembangunan gedung gereja Itawaka.

Gedung gereja Maranatha dibangun dengan peletakan batu pertama pada tanggal 10 Juni 1973 bertepatan dengan hari Keturunan Roh Kudus. Pimpinan jemaat Paulus Tezen dan pimpinan pemerintah negeri Itawaka Alex Syaranamual. Dan yang menjadi ketua panitia pembangunan gereja yang baru adalah Pnt. Jansenus Patty dan yang menjadi bas dan arsitek Ateng Latupeirissa dan Teti Papilaja sementara kepala tukang dari Porto Zeth Tetelepta dan Omas Noja sedangkan kepala tukang dari Itawaka Frans Wattimena. Peletakan batu pertama gereja baru jemaat GPM Itawaka dihadiri oleh Ketua Klasis GPM PP Lease Pdt. D. Warella dan Camat Saparua Wim Sinanu,BA. Pada tanggal 25 Februari 1974 tukang batu dan kayu tiba dari Porto. Mereka dipimpin oleh Th. Noja dan Z Tetelepta sebagai kepala tukang Porto dan S. Th. Nanlohy sebagai ketua Lembaga Sosial Desa (LSD) Porto. Pekerjaan fondasi gereja baru dilakukan pada tanggal 26 Februari 1974, dan negeri-negeri yang turut kerja fondasi gereja saat itu adalah rakyat dari negeri Porto, Noloth dan rakyat negeri Iha. Pada tanggal 17 April 1974 para tukang dan tenaga kerja dari Porto tiba di Itawaka dengan jumlah personil sebanyak 130 orang untuk mengerjakan fondasi dan Fondasi gereja baru selesai dikerjakan pada tanggal 20 April 1974.

Tampak Mimbar
Pada saat pembongkaran gereja pertama maka terjadi pertemuan antara Panitia Pembangunan gereja dengan Pengurus Ikatan Warga Itawaka Ambon yang dilakukan di rumah bpk Teko Pattipeilohy di Batu Gajah dimana panitia dari Itawaka diwakili oleh ketua Panitia Pnt Jansenos Patti dan Togama Sepa Wattimena dalam percakapan bersama tersebut pihak panitia mengajukan usulan untuk gedung gereja yang baru tidak lagi menggunakan mimbar gereja lama baik mimbar besar maupun mimbar kecil. Usulan panitia ini mendapat tanggapan serius dari Pengurus IKWI Ambon, sebab IKWI Ambon berkeinginan untuk hasil buah tangan dari para datuk-datuk yang membangun gereja pertama perlu dipertahankan dan dilestarikan. Karena itu IKWI Ambon tetap bersisi teguh untuk mempertahankan mimbar besar untuk digunakan pada gereja yang akan dibangun baru. Atas perdebatan tersebut maka disepakati bersama bahwa mimbar besar dan mimbar kecil hasil buah tangan dari para datuk-datuk tetap digunakan. Hal ini juga dikarenakan bahwa mimbar besar dari aspek arsiktektur maupun kualitasnya masih tetap baik dan tidak dimakan jaman. Sehingga sampai saat ini mimbar besar yang merupakan satu-satunya peninggalan dari pertama tetap digunakan dan dilestarikan sampai saat ini.

Pada bulan Februari 1975 pemasangan sekaligus pengecoran tiang-tiang termasuk tiang toren, balkon dan reng balok. Tanggal 7 April 1975 pekerjaan tahap kedua dilaksanakan dengan dukungan sebanyak 93 tenaga tukang dari Porto ditambah tukang Itawaka untuk mengerjakan pengecoran tiang-tiang gereja yang dilaksanakan selama tiga hari. Pekerjaan selanjutnya dilaksanakan pada tanggal 12 Mei 1975 dimana tukang dari Porto yang datang untuk melakukan pekerjaan sebanyak 200 orang untuk melanjutkan kegiatan pengecoran tiang-tiang gereja dan mereka bekerja selama tiga hari. Pekerjaan gedung gereja tersebut dilakukan oleh masyarakat dari porto dibantu oleh para tukang yang ada di Itawaka.

Sementara pekerjaan pembangunan gedung gereja dilaksanakan maka di Belanda melalui muda-mudi anak-anak Itawaka merasa tergerak hati mereka untuk turut bertanggungjawab berpartisipasi membantu pembangunan gedung gereja baru Itawaka. Atas komitmen dan tanggungjawab moral tersebut maka mereka membentuk suatu wadah yang diberinama Komite Pembangunan Gereja Itawaka (KPGI) yang diketuai oleh Pdt. P. Papilaja dengan tugas untuk melakukan penggalangan dana bagi penyelesaian pembangunan gedung gereja Itawaka. Tanggal 4 Juni 1975 utusan KPGI yang terdiri dari ketua Pdt. P.Papilaja dan bendahara R. Matulessy tiba di Ambon dan pada tanggal 5 Juni 1975 utusan KPGI mengadakan rapat dengan panitia dan KPGI menyanggupi untuk membiayai sisa anggaran untuk menyelesaikan pembangunan gedung gereja Itawaka dan dalam pertemuan tersebut KPGI menyumbangkan uang tunai sebesar 2.500.000 rupiah. Tanggal 9 Juni 1975 kepala tukang dan 50 tukang kayu dari Porto tiba di Itawaka untuk mengerjakan bakesting untuk balkon yang dilakukan selama 4 hari. Tanggl 18 Juni 1975 para tukang dari Porto tiba di Itawaka dengan jumlah personil 141 orang dan bekerja selama 3 hari untuk melakukan pengecoran balkon dan level muka. Pada bulan Juli 1975 tukang dari Porto melakukan pekerjaan di Itawaka dengan jumlah personil sebanyak 360 orang yang dibagi kedalam 6 kloter untuk mengerjakan menyusun tela, mengerjakan bakesting untuk level kuncistori dan 3 buah kap sekaligus mencor kap dan level kuncistori. Tanggal 16 Agustus 1975 panitia mengurus kayu di Makariki yang merupakan pela dari Itawaka untuk kosein-kosein pintu jendela dll.

Pada bulan Agustus 1975 pekerjaan dilanjutkan yaitu mencuci kayu kap dan memasang beberapa buah kap, mencuci kayu untuk kosein-kosein pintu dan jendala serta menyusun tela untuk tembok. Untuk mengerjakan pekerjaan tersebut tukang dari Porto didatangkan sebanyak 358 orang. Mereka datang dalam 6 kloter. Kemudian pada bulan September 1975 dilakukan pemasangan kap dan mencor fondasi untuk level pintu samping dan tukang yang datang dari Porto sebanyak 35 orang. Tanggal 13 Oktober 1975 pekerjaan dilanjutkan kembali dan tukang dari Porto yang didatangkan sebanyak 23 orang yang bekerja selama 4 hari untuk melanjutkan pembuatan kosein pintu jendela dan menggali parit untuk fondasi pagar halaman. Pada tanggal 3 November 1975 41 tukang dari Porto kembali tiba di Itawaka untuk melanjutkan pekerjaan, kemudian pada tanggal 4 November 1975 tukang dari Porto diturunkan lagi sebanyak 162 orang untuk melanjutkan pekerjaan lagi. Tanggal 5 November 1975 dilakukan pekerjaan tutup rumah gedung gereja yang dilakukan dalam bentuk acara tradisional. Kemudian pada tanggal 7-8 November 1975 dilanjutkan pekerjaan oleh para tukang dan warga jemaat Itawaka berupa tutup zink, mencor tiang level pintu samping, mencor tempat mimbar dan menyusun batako pada level muka toren. Tanggal 11 Februari 1976 kepala tukang dan 44 tukang dari Porto menlajutkan pekerjaan dan membuat bakesting toren dan melanjutkan pembuatan fondasi pagar, yang dikerjakan selama 3 hari bersama-sama dengan tukang serta jemaat Itawaka. Tanggal 25 Februari 1976 rombongan dari Porto tiba di Itawaka dan melakukan pekerjaan mencor toren (tiang lonceng gereja) dan mencuci kayu untuk loteng. Rombongan yang datang dari Porto berjumlah 96 orang dan mereka bekerja selama 3 hari. Pada tanggal 24 Maret rombongan dari Porto dating ke Itawaka dengan personil berjumlah 78 orang dan bekerja selama 3 hari dan yang dikerjakan adalah melanjutkan pekerjaan mencor toren dan mencuci kayu untuk loteng.

Kegiatan pekerjaan pembangunan gedung gereja sempat terhambat akibat dari ada mis komunikasi antara panitia dan warga dirantau baik di Ambon maupun di Belanda, dan setelah dilkarifikasi oleh sekretaris panitia G. Lewerissa maka aktivitas pekerjaan mulai berjalan lagi. Pada tanggal 10 Mei 1976 para tukang dari Porto masuk ke Itawaka untuk melakukan pekerjaan selama 3 hari yaitu menyusun batu tela di toren, memplester tiang-tiang level pintu samping timur dan barat. Sampai akhir Mei 1976 sebahagian pembangunan belum terselesaikan terutama ; toren, balkon belum dipasang plavon, kisi-kisi dan tegel pada lantai gedung. Pada tanggal 1  Juni 1976 datang lagi 118 tenaga tukang dari Porto untuk melakukan pekerjaan plester toren, membuat rangka loteng dan rangka kisi-kisi dan pekerjaan tersebut dilakukan selama 3 hari. Kemudian pada tanggal 14 Juni 1976 tenaga dari Porto sebanyak 58 orang kembali melanjutkan pekerjaan yang dikerjakan pada tanggal 1 Juni 1976. Pada tanggal 17 Agutsus 1976 tenaga dari Porto sebanyak 42 orang kembali melakukan pekerjaan selama 3 hari untuk menyelesaikan plester toren, mengapur tembok luar dan dalam serta membuat lesplank muka. Kemudian pada tanggal 15 September 1976 pela Porto mengirimkan 39 orang tenaga tukang untuk mengerjakan pemasangan plavon loteng dan balkon serta membuat membuat lesplank belakang dan mereka bekerja selama 3. Pada tanggal 13 Oktober 1976 pela Porto mengirimkan tenaga tukang sebanyak 73 orang untuk mengerjakan pekerjaan berupa menyusun batu tela pada balkon, mencat loteng, memasang nako jendela, mencuci kayu untuk loteng kuncistori, plester tembok balkon dan menggali tanah dalam ruang gereja untuk pemasangan tegel.

Pekerjaan ini kemudian dilanjutkan kembali pada tanggal 25 Oktober 1976 dengan tenaga tukang dari Porto sebanyak 21 orang. Pekerjaan hamper tiba di garis finis, maka untuk memenuhi target waktu peresmian yang telah direncanakan maka pada Bulan November 1976 enam kali tenaga tukang dari Porto silih berganti datang ke Itawaka untuk melakukan pekerjaan dalam menyelesaikan pembangunan gedung gereja. Kloter pertama tenaga dari Porto datang ke Itawaka pada tanggal 1 November  1976 dengan jumlah personil 58 orang, kloter kedua datang pada tanggal 9 November 1976 dengan jumlah personil sebanyak 137 orang, Kloter ketiga datang pada tanggal 17 November 1976 dengan jumlah personil sebanyak 125 orang, kloter keempat datang pada tanggal 28 November 1976 dengan jumlah personil sebanyak 126 orang.

Kloter pertama sampai kloter keempat melakukan pekerjaan memasang kaca dan nako pada jendela-jendela, menyusun tegel di balkon dan ruangan gereja serta membuat pagar halaman gereja dan jumlah hari kerja sebanyak 13 hari. Sementara itu tenaga perempuan dari Porto datang ke Itawaka sebanyak dua kloter yaitu kloter pertama pada tanggal 8 November 1976 dengan personil sebanyak 90 orang dan kloter kedua datang pada tanggal 25 November 1976 dengan personil sebanyak 120 orang untuk mengerjakan pembersihan kompleks gereja, mengakut air, pasir dalam mebatu tukang. Sebelum sampai pada waktu peresmian, maka tenaga dari Porto didatangkan lagi sebanyak tiga kloter dengan rincian : kloter pertama pada tanggal 1 Desember 1976 dengan jumlah tenaga sebanyak 87 orang, kloter kedua pada tanggal 6 Desember 1976 dengan jumlah tenaga sebanyak 52 orang dan kloter ketiga pada tanggal 8 Desember 1976 dengan jumlah tenaga sebanyak 40 orang untuk merampungkan sisa pekerjaan bangunan induk.

Pada tanggal 10 Desember 1976 pela Porto mengakhiri pekerjaan mereka dalam membangun gedung gereja Itawaka dan dilepaskan dalam suatu upacara gerejawi bertempat di gedung gereja darurat. Lamanya hari kerja dari para tukang dan tenaga dari Porto untuk membangun gedung gereja Itawaka selama 130 hari dengan jumlah tenaga sebanyak 3.408 orang baik pria maupun wanita. Pekerjaan pembangunan gedung gereja baru Itawaka telah selesai dikerjakan, maka semua warga jemaat GPM Itawaka bertekad untuk merayakan Natal dan Tahun Baru di gedung gereja baru, oleh karena itu ditetapkan tanggal pengresmian pada tanggal 21 Desember 1976. Tanggal peresmian tersebut dikukuhkan dalam rapat IKWI Ambon dan tokoh-tokoh Itawaka di Ambon. Rapat dihadiri oleh panitia pusat dan utusan dari Majelis Jemaat dan Badan Saniri Negeri serta utusan dari Majelis Jemaat Porto dan Badan Saniri Negeri Porto sekaligus membentuk panitia peresmian gedung gereja Itawaka yang diketuai oleh Z. Papilaja dan wakil ketua Penatua M Sahertian. Tanggal 19 Desember 1976 utusan dari KPGI yaitu D. Syaranamual dan J. Papilaja tiba dari Belanda untuk menyaksikan peresmian gereja baru Itawaka. Begitu pula anak-anak Itawaka dirantau berbondong-bondong datang memadati negeri dan jemaat Itawaka untuk menyaksikan acara peresmian gedung gereja baru jemaat GPM Itawaka. Pada tanggal 20 Desember 1976 Pemerintah Negeri Porto yang dipimpin oleh D. Lopulalan beserta Ibu dan Pimpinan Jemaat GPM Porto Pdt. Manduapessy dan ibu serta staf pemerintah dan staf Majelis Jemaat, tokoh-tokoh masyarakat Porto dan rakyat Porto tiba di Itawaka. Mereka disambut di perbatasan negeri Noloth dan Itawaka dalam acara adat dan dikelilingi dengan kain putih oleh istri-istri Saniri Negeri Itawaka, kemudian pada malam hari dilakukan ibadah khusus menyosong peresmian gedung gereja baru sekaligus mensyukuri penggunaan gereja darurat.

Sebelum gereja baru Itawaka diresmikan maka terjadi pembicaraan menyangkut pemberian nama gedung gereja baru, maka dari semua nama gereja yang diusulkan pada saat itu kemudian dilakukan pergumulan oleh Ketua Panitia Penatua Jansenos Patty. Hasil pergumulan ketua panitia maka nama gedung gereja jemaat GPM Itawaka yang baru dibangun diberinama Maranatha (yang artinya Tuhan Datang), dan nama gereja tersebut  digunakan sampai saat ini. Gedung gereja Maranatha jemaat GPM Itawaka diresmikan pada tanggal 20 Desember 1976 pada masa Pdt Paulus Tezen dan penjabat pemerintah Itawaka Jocob Patti, BA yang diresmikan oleh Badan Pekerja Harian Sinode Pdt. J.Ospara, STh dalam suatu upacara gerejawi.  

Renovasi Gedung Gereja Maranatha Jemaat GPM Itawaka.
Tampak Balkon

Sejak dari tahun 1976 setelah gereja Maranatha jemaat GPM Itawaka diresmikan maka ada terjadi beberapa kali penambahan bangunan dalam lokasi gedung gereja berupa kantor jemaat dan kuncistori, pembuatan MCK, dan pembuatan kursi gereja dari kayu. Dalam perkembangannya, maka dalam sidang Jemaat GPM Itawaka yang ke 30 tahun 2006 pada bidang kerumahtanggaan direkomendasikan oleh peserta siding jemaat untuk dilakukan renovasi gedung gereja maranatha terutama pada bagian pintu dan jendela untuk lebih mengoptimalkan sirkulasi udara pada saat ibadah, menyesuaikan kondisi bangunan dengan perkembangan jaman, menambah keindahan bangunan, sekaligus memberikan keyamanan bagi warga jemaat dalam mengikuti ibadah pada gedung gereja Maranatha dan pada saat itu yang menjadi pimpinan jemaat Pdt. J. Timisela,Sm.Th sedangkan kepala desa Itawaka saat itu A.A. Sahetapy.

Tampak Balkon
Untuk melakukan dan merealisasikan program jemaat tersebut, maka dibentuklah Panitia Renovasi gedung dengan ketua panitia Penatua Drik Sahetapy dan Sekretaris Penatua Alfons Siahaya. Setelah panitia terbentuk maka panitia mulai melakukan konsolidasi jemaat, tukang dan anak-anak negeri di rantau untuk mendukung suksesnya kegiatan renovasi dimaksud. Panitia melakukan rapat bersama dengan IKWI Ambon sebanyak dua kali untuk mebicarakan rencana renovasi dan kemudian membicarakan acara pengetokan gedung gereja maranatha sebagai tanda dimulainya kegiatan renovasi gereja. Dalam mensukseskan program tersebut maka seluruh anak-anak negeri di rantau melalui organisasi Ikatan Warga Itawaka memberikan dukungan dan sport bagi panitia baik secara moral maupun materil.  

Pekerjaan renovasi gedung gereja Maranatha dimulai dengan kegiatan pengetokan sebagai tanda dilakukan renofasi pada tanggal 22 Oktober 2006 dalam suatu upacara gerejawi yang dihadiri oleh Ketua Klasis GPM PP Lease Pdt. D. Sutela, STh Raja Negeri Porto B. Nanlohy dan Staf Pemerintah Porto, Ketua Majelis Jemaat GPM Porto Pdt. Y.Teslatu,STh dan staf majelis Jemaat GPM Porto Donatur tetap kegiatan renovasi gedung gereja Maranatha Drs. Z. Wattimena, MSi, Pengurus Pusat IKWI Ambon, dan anak-anak Itawaka dirantau dan ibah minggu pada saat itu dipimpin oleh Pdt. Nik Taberima, STh. Pada acara pengetokan tersebut dilakukan oleh masing-masing Ketua Klasis GPM PP Lease Pdt. D. Sutela, STh, Raja Negeri Porto B. Nanlohy, Ketua Majelis Jemaat GPM Porto Pdt. Y.Teslatu,STh, Kepala Desa Itawaka A.A. Sahetapy, Ketua Majelis Jemaat GPM Itawaka Pdt. Jhon Paais, STh, Bas sekaligus arsitek Ateng Latupeirissa dan Drs Z. Wattimena, MSi yang mewakili anak-anak Itawaka di rantau dan yang mewakili Pemerintah Negeri Makariki.

Pengetokan gedung gereja Maranatha sebagai tanda dimulai pekerjaan renovasi gereja dilakukan pada masa Pdt. Jhon Paais, STh dan pemerintah negeri Adolof A. Sahetapy dengan ketua panitia renovasi Pnt D.N. Sahetapy sementara yang bertindak sebagai Bas dan arsitek Marthen Latupeirissa dan kepala tukang dari Itawaka Togama Agustinus Sakalessy. Selanjutnya pada tanggal 23 oktober 2006 dilakukan pembongkaran kaseng-kaseng jendala dan pekerjaan renofasi dilakukan.  Namun dalam perkembangannya, maka rencana awal renovasi gedung gereja Maranatha pada pintu dan jendela mengalami perubahan dan ditabahkan dengan penggantian atap bangun (zenk), plovon, balkon dan tegel serta pengadaan pindingin ruangan (AC). Perubahan rencana ini mendapat persetujuan dari Majelis jemaat GPM Itawaka, Pemerintah Negeri Itawaka dan Drs. Z Wattimena, MSi sebagai donator tetap renovasi gereja Maranatha. Pekerjaan renovasi gereja dilakukan mulai dari tanggal 23 oktober 2006 sampai tanggal 12 Februari 2008 dengan jumlah hari kerja efektif sebanyak 231 hari dengan tenaga tukang sebanyak 30 orang.

Gedung gereja Maranatha yang direnovasi diresmikan pada tanggal 17 Februari 2008 dalam suatu acara gerejawi. Pada saat acara peresmian syukur renovasi gedung gereja Maranatha pimpinan jemaat GPM Itawaka Pdt Jhon Paais, STh dan penjabat pemerintah negeri Itawaka A. Pattiasina,BA sedangkan ketua panitia adalah Demi Lessil dan sekretaris Ronal Papilaja. Dalam acara peresmian dan syukuran renovasi gereja Maranatha juga dilakukan peresmian Gedung Kantor Kepala Pemerintahan Negeri Itawaka serta dilakukan peletakan batu pertama gedung Pusat Pelayanan Pendidikan Masyarakat Itawaka. Dalam acara syukur renovasi, peresmian Kantor Kepala Pemerintahan Negeri Itawaka dan Peletakan Batu Pertama gedung Pusat Pelayanan Pendidikan Masyarakat Itawaka di hadiri oleh Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu, Bupati Maluku Tengah Ir. Hj. Abdulah Tuasikal, MSi, Ketua Sinode GPM Pdt. DR. Jhon Ruhulesin, MSi, Walikota Ambon Drs. M.J. Papilaja yang juga sebagai Ketua  Pembina IKWI Ambon, BPK PP Lease, pela Porto, Makariki dan sudara-sudara dari Hualoy. Gedung gereja Maranatha yang direnovasi diresmikan oleh Ketua Sinode GPM Pdt. DR. Jhon Ruhulesin, MSi, sedangkan gedung kantor Kepala Pemerintah Negeri Itawaka di resmikan oleh Bupati Maluku Tengah Hj. Ir. Abdullah Tuasikal, MSi, sementara Drs. M.J. Papilaja.MS yang dalam jabatannya sebagai Walikota Ambon mewakili anak-anak negeri di rantau dalam acara peletakan batu pertama Pusat Pelayanan Pendidikan masyarakat Itawaka, sedangkan Drs. Z. Wattimena, MSi yang juga ketua persekutuan warga Itawaka di Jayapura menyampaikan pengantar dan latar belakang dibangunnya Pusat Pelayanan Pendidikan Masyarakat Itawaka sebagai realisasi nota kesepakatan seluruh anak-anak negeri di rantau dengan Pemerintah Negeri Itawaka dan Majelis Jemaat GPM Itawaka yang dilaksanakan pada tanggal 29 Desember 2006 di Itawaka.      

Pdt Yang pernah mempin di jemaat GPM Itawaka

  1. Pdt. De Lima
  2. Pdt Kayadu
  3. Pdt Latumahina
  4. Pdt F. Lakburlawar
  5. Pdt P. Tizen
  6. Pdt Nahuwae
  7. Pdt. P. Leperteri
  8. Pdt. Manuhutu
  9. Pdt. Jakob. Ayal
  10. Pdt. Mayaut
  11. Pdt. A. J. Timisela
  12. Pdt. Jhon. Paais

Catatan : Pada masa penjajahan Jepang pelaksanaan Ibadah dilaksanakan di hutan selama 3 tahun dari tahun 1942-1945.
Sumber : IKWI Ambon

Lindungilah Aer Potang Potang


Ketika mendengar Air Potang Potang mungkin semua akan teringat akan negeri Itawaka yang berada di pulau Saparua, seiring mengenang kembali keindahan Air Potang potang dimasa pemerintahan tahun 1990-an yang semua ini menjadi tidak tertata dan diatur dengan manajemen pemerintahan yang baik saat ini. Kondisi air Potang Potang menjadi rusak ketika konflik sosial melanda Provinsi maluku dimana pemerintah desa memberikan izin kepada masyarakat desa untuk membuka lahan pertanian di daerah sekitar penyangga Air Potang Potang,sehingga sistem Hidrologi menjadi terganggu dalam menjaga kestabilan tata air.

Pulau Saparua beriklim laut tropis karena dikelilingi oleh laut dan biasanya terjadi bersamaan dengan iklim musim yaitu musim barat dan musim timur. Berdasarkan peta geologi yang dikeluarkan oleh Direktorat Geologi Departemen Pertambangan dan Energi, maka Pulau Saparua dibentuk oleh batuan beku (Granit, Kuarsa, Peridotit, Andesit), batuan Sedimen (Batu Pasir, Koral, dan bahan lepas) yang termasuk dalam batuan masam, netral dan basa (Anonim, 2004).

Dalam musim penghujan hutan berfungsi untuk meresapkan air ke dalam tanah melalui proses infiltrasi dan musim kemarau berperan untuk menjaga cadangan air dalam tanah (Kimins,1997). Vegetasi dalam hutan memiliki peran ekologis yang sangat vital bagi manusia, yakni sebagai penyimpan air, pengatur lingkungan, dan habitat untuk berbagai jenis fauna. Berbagai masalah tentang keberadaan air mulai muncul dimasyarakat sebagai akibat terjadinya kerusakan penutupan vegetasi dalam satu kawasan hutan atau penggundulan hutan misalnya penurunan debit aliran air dan kemampuan peresapan air dalam tanah merosot sementara kebutuhan kebutuhan air meningkat.

Disisi lain vegetasi dapat menurunkan volume air larian (Run off) yang menjadi faktor penyebab terjadinya erosi, mengikat partikel - partikel tanah dan menurunkan tingkat kelembaban tanah melalui proses evapotranspirasi yang pada gilirannya akan mengurangi potensi terjadinya tanah longsor (Asdak, 2002). Vegetasi dalam satu kawasan hutan akan berperan untuk meningkatkan intersepsi, memfasilitasi canopy redistribution, meningkatkan transpirasi dan mengurangi evaporasi. Kerusakan kawasan resapan air dapat menyebabkan terjadinya banjir, kekeringan, sedimentasi, tanah longsor, penurunan debit aliran air dalam tanah serta penurunan air tanah (Asdak, 2002).

Apabila hutan ditunjukan sebagai penutupan vegetasi dalam satu kawasan resapan air, maka kerusakan hutan akan berakibat langsung berupa kerusakan siklus air. Air hujan sebagian besar akan mengalir sebagai aliran permukaan menuju aliran sungai dan hanya sedikit saja yang tertahan dalam vegetasi dan lantai hutan, akibatnya pada musim kemarau persediaan air dalam kawasan resapan air sangat sedikit (Asdak, 2002). Saat ini banyak ditemukan daerah - daerah yang telah mengalami kerusakan vegetasi hutan penyangganya yang berakibat lanjut berupa kerusakan siklus air. Salah satu contoh adalah yang terjadi di Kecamatan Saparua khususnya pada kawasan resapan air Potang Potang. Kondisi kawasan cukup memprihatinkan dimana telah terjadi kerusakan penutupan vegetasi akibat penebangan di sekitar kawasan untuk berbagai tujuan.
Akibat lanjut dari alih fungsi kawasan - kawasan resapan air ini maka akan terjadi banjir pada musim penghujan, kekeringan pada musim kemarau, kerusakan lingkungan dan penurunan debit aliran air pada sumber mata air, sehingga perlu untuk merehabilitasi vegetasi pada kawasan resapan air Potang Potang dalam menjamin ketersediaan debit aliran air pada kawasan resapan air Potang Potang serta dapat mengupayakan kelestarian fungsi hutan pada kawasan resapan air Potang Potang desa Itawaka dan diharapkan dapat menjadi langkah strategis untuk menjaga keberadaan kawasan untuk dapat berfungsi secara maksimal.

Kamis, 04 November 2010

Satu Keluarga Orang Basudara


Dalam sorotan tema “Satu Keluarga Orang Basudara” Ikatan Keluarga Besar Itawaka yang pada hari Senin tanggal 27 september 2010 pukul 13.00 wit berkumpul di pantai Natsepa dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun IKWI – Ambon yang ke 40 yang baru pertama kali dirayakan. Dengan lantunan lagu Itawaka Negeriku, Leilisal membawa suasana HUT IKWI – Ambon seperti di negeri Itawaka (pantai Namal sampe Tuwel). Sungguh suatu kebersamaan Ikatan Keluarga Orang basudara yang dipersatukan oleh panitia perayaan HUT IKWI – Ambon yang diketuai oleh S.P. Papilaya dan nn N. Papilaya.

Perayaan HUT IKWI – Ambon ke 40 turut pula dihadiri oleh Ketua IKWI – Ambon Drs. J. Wattimena, Ketua Majelis GPM – Itawaka Pdt. J. Paais, Perwakilan IKWI – Sejabotabek H.I. Lewerissa, SH. Mhum, serta pengurus wilayah I sampai IV IKWI – Ambon dan seluruh anak negeri Itawaka di Ambon.
Dalam sambutan Drs. J. wattimena selaku Ketua IKWI – Ambon mengajak kita sebagai kesatuan Ikatan Keluarga Besar Negeri Itawaka di Ambon untuk tetap menjaga ikatan yang telah dibangun selama ini, seraya menceritrakan kembali secara singkat sejarah negeri Itawaka untuk membangun kembali rasa persaudaraan antara sesama anak negeri itawaka dalam membangun negeri dan Jemaat Itawaka yang kita cintai, mengingat di tahun 2010 menurut Drs. J. wattimena jumlah kepala keluarga IKWI – Ambon ± 600 kk, sehingga ada tiga point penting diantaranya :
  1. Membentuk Sumber Daya Manusia (SDM) Negeri Itawaka melalui Pendidikan
  2. Mencegah pengaruh Global yang bersifat negative.
  3. Membina kader.
Kesempatan yang sama juga disampaikan oleh perwakilan IKWI – Sejabotabek H.I. Lewerissa yang mengingatkan kita untuk sadar dengan keyakinan Iman dalam rasa persaudaraan “Leeng Lia-Lia Leeng, Laeng Tolong-Tolong Laeng, Potong Dikuku Rasa di Daging. Katong solid bukan berarti katong jadi orang laeng, karena ketika Itawaka menangis yang bisa bangun Itawaka “Cuma Ale Deng Beta Bukan Orang Laeng”. Mengakhiri sambutannya Lewerissa juga ingin menyampaikan bahwa warga Itawaka di Jakarta hanya menghitung hari kapan bulan Desember akan tiba sehingga bisa pulang dan bakumpul di Itawaka dalam acara Natal Itawaka Sedunia.

Hal senada juga disampaikan oleh Pdt. J. Paais selaku Ketua Majelis GMP Itawaka bahwa hari kita merayakan HUT IKWI – Ambon yang ke 40 bukan berarti baru 40 tahun warga Itawaka datang di Ambon, sehingga untuk membangun negeri Itawaka perlu kerja sama, baik IKWI – Ambon, IKWI – Jakarta, IKWI – Papua dan lainnya untuk dapat menciptakan suasana kebersamaan seperti jemaat mula – mula.

Dalam perayaan HUT IKWI – Ambon yang ke 40 ditutup dengan makan Patita bersama dan turut pula dimeriahkan dengan kegiatan yang semata – mata untuk kebersamaan dalam ikatan kekeluargaan orang basudara di antaranya :
  1. Jalan taropah
  2. Mengisi air dalam pipa (paralon)  yang bocor.
  3. Memasukan bola dalam botol (galon).
Kalau Sudah Dapat Koi Kalambu Jangan Lupa Tapalang Bambu